"Selamat datang di darsonmate. Kita akan berbagi pengalaman dan persahabatan. Ok"

Jumat, 30 April 2010

Perkembangan Intellegensi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Definisi pertumbuhan ialah perubahan secara fisiologis dari hasil proses kematangan fungsi-fungsi jasmani sebagai akibat dari adanya pengaruh lingkungan (Baharuddin, 2009 : 66). Pertumbuhan dapat diartikan sebagai proses berubahnya keadaan jasmaniah (fisik) yang turun-temurun dalam bentuk proses aktif yang berkesinambungan (terstruktur). Sedangkan menurut Nana Syaodih (2003: 111), perkembangan berkenaan dengan peningkatan kualitas, yaitu peningkatan dan penyempurnaan fungsi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan berkenaan dengan penyempurnaan struktur, sedang perkembangan dengan penyempurnaan fungsi.
Pertumbuhan dan perkembangan mempunyai persamaan yakni suatu peoses perubahan yang menuju kearah kesempurnaan. Kedua istilah tersebut bersifat integral. Adapun perbedaan antara pertumbuhan dan perkembangan adalah berdasarkan aspek-aspek berikut.
a. Pertumbuhan merupakan perubahan yang menuju kesempurnaan beraitan dengan fisik, perkembangan merupakan perubahan yang menuju kesempurnaan berkaitan dengan psikis.
b. Pertumbuhan yang bersifat kuantitatif menyangkut perubahan material yang bersifat biologis, seprti badan menjadi tegap, kaki dan tangan semakin panjang. Adapun perekmbangan merupakan proses perubahan yang bersifat kualitatif yang menyatu pada mutu fungsi orgam-organ jasmaniah atau penyempurnaan fungsi psikologi yang disandang oleg organ-organ fisik. (Baharudin, 2009 : 70).
Tinggi rendahnya mutu hasil perkembangan peserta didik terdiri dari factor-faktor sebagai berikut. (Ngalim Purwanto, 1999: 55).


a. Pembawaan
Pembawaan di tentukan oleh sifat-sifat dan cirri-ciri yang di bawa sejak lahir.
b. Kematangan
Tiap orang dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
c. Pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelejensi.
d. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
e. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah.
Perkembangan anak pada dasarnya adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam seluruh dimensi yang ada dalam diri anak, baik dimensi fisik, dimensi sosial, dimensi emosi, kognitif (berpikir), dan dimensi spiritual. Dimensi-dimensi perkembangan anak meliputi fisik, sosial, emosi, kognitif, dan spiritual berhubungan erat satu sama lain. Perubahan dalam satu dimensi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dimensi lain. Perkembangan dalam satu dimensi dapat membatasi atau memfasilitasi perkembangan pada dimensi-dimensi lainnya (Sroufe, Cooper, & DeHart 1992; Kostelnik, Soderman, & Whiren 1993 dalam Irwan Nuryana K, 2008).
Pada dasarnya, latar belakang pentingnya mempelajari perkembangan anak adalah bertumpu kepada kepentingan dunia pendidikan. Para tokoh pendidikan ataupun para ahli yang berkecimpung di dunia pendidikan marasa amat berkepentingan untuk memahami “rahasia anak” yang sedang dalam proses “tumbuh-kembang”. Comenius, seorang pendidik pada abad 16-17 mempunyai prinsip bahwa pengajaran harus menarik perhatian anak. Karenanya ia berupaya mempelajari sifat-sifat khas dari anak. Diketemukan bahwa anak tidak sama dengan orang dewasa, sehingga anak tidak boleh dianggap seperti orang dewasa yang bertubuh kecil. (Eddy H dan Soebanoe, 1989 : 19).
Pestalotzi, seorang pendidik anak-anak pada abad 18-19 berprinsip bahwa pendidikan harus sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Karenanya, guru yang tanpa pengetahuan tentang kejiwaan anak, tak mampu berbuat banyak atau gagal (Eddy H dan Soebanoe, 1989 : 20).
Dari beberapa pandangan tersebut dapat diungkap bahwa seorang pendidik yang ingin berhasil hendaknya memahami perkembangan jiwa peserta didiknya. Pendidik mestinya memahami perkembangan peserta didik dari segala aspek. Karena perubahan dalam satu dimensi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dimensi lain.
Dari seluruh aspek-aspek perkembangan perserta didik tersebut yang akan dibahas pada makalah ini adalah perkembangan inteligensi peserta didik. Menurut Edward Thorndike dalam Baharuddin (2009), “Intelligence is demonstrable in ability of the individual to make good responses from the stand point of truth or falt”. (Inteligensi ialah kemampuan individu untuk memberikan respons yang tepat (baik), terhadap stimulus yang diterimanya).

B. Permasalahan
1) Bagaimanakah tahap-tahap perkembangan inteligensi peserta didik?
2) Bagaimanakah implementasi perkembangan inteligensi peserta didik dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah?




C. Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
1) Mendiskripsikan tahap-tahap perkembangan inteligensi peserta didik?
2) Mengungkap implementasi perkembangan inteligensi peserta didik dalam pelaksanan pendidikan di sekolah
b. Manfaat
1) Menambah bekal pengetahuan dan sebagai bahan kajian pada diskusi kelas mahasiswa Prodi Pendidikan Dasar Konsentrasi Matematika tentang tahap-tahap perkembangan inteligensi peserta didik.
2) Sebagai bahan kajian pada diskusi kelas mahasiswa Prodi Pendidikan Dasar Konsentrasi Matematika tentang implementasi perkembangan inteligensi peserta didik dalam pelaksanan pendidikan di sekolah.


















BAB II
PEMBAHASAN
A. Tahap-tahap Perkembangan Inteligensi Peserta Didik
Inteligensi berarti kecerdasan. Inteligensi adalah kemampuan untuk memperoleh berbagai informasi abstrak, menalar serta bertindak secara efisien dan efektif. Inteligensi juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau produk yang dinilai di dalam satu atau lebih latar budaya. Pola inteligensi yang berbeda menyatukan perwakilan mental yang berfokus pada perbedaan individual. Inteligensi sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta kemampuan mengalahkan menguasai lingkungan secara efektif (Baharuddin, 2009 : 116).
Sedangkan istilah “intelektual” menunjukkan kata intelek yang berarti “cendekiawan” atau “cerdik pandai” Intelektual juga menunjukkan suatu aktivitas berpikir. Menurut kamus Webster New World Dictionary of the American Language dalam Baharuddin (2009 : 115), istilah intelect berarti: (a) kecakapan untuk berpikir, mengamati, atau mengerti, kecakapan untuk mengamati hubungan-hubungan, perbedaan-perbedaan, dan sebagainya; (b) kecakapan mental yang besar; dan (c) pikiran atau inteligensi. Jadi inteligensi mengandung unsur-unsur yang sama dengan istilah “intelek”, yang menggambarkan kemampuan seseorang dalam berpikir dan atau bertindak.
Menurut Baharuddin (2009 : 116), pada umur sekitar empat bulan, respon yang bersifat reflex mulai berkurang, pemberian respon terhadap setiap rangsangan telah mulai terkoordinasikan. Sebagai contoh, respon terhadap sinar dan warna mulai ditunjukkan dengan gerakan pandangan mata kea rah asal rangsangan itu dibuktikan.
Perkembangan lebih lanjut tentang perkembangan intelek di tunjukkan pada perilakunya, yaitu tindakan menolak dan memilih sesuatu. Tindakan itu berarti telah mendapatkan proses mempertimbangkan atau proses analisis evaluasi, sampai kemampuan menarik kesimpulan dan keputusan. Fungsi ini telah berkembang mengikuti kekayaan pengetahuannya tentang dunia luar dan proses belajar yang di dalamnya.
Fungsi intelek akan berkembang mengikuti kekayaan pengetahuannya tentang dunia luar serta proses belajarnya, pada saatnya seseorang akan mempunyai kemampuan melakukan pengamatan atau prediksi, perencanaan, dan berbagi kemampuan melakukan analisis dan sintesis. Perkembangan berfikir semacam ini dikenal sebagai perkembangan kognitif. Ada empat tahap perkembangan intelektual menurut teori Piaget, yaitu:
1. Tahap sensi motor (sejak lahir- 2 tahun), yaitu tahap sikuensial tatanan operasi mental yang progresif.
Karakteristik pada tahap ini meliputi:
a. Meniru, mengingat, dan berfikir.
b. Mulai mengenal dunia luar meskipun masih secara samar.
c. Aktivitas gerak refleks.
2. Tahap praoperasional (usia 2-7 tahun), yaitu urutan yang hierarki yang membentuk suatu tatanan operasi mental yang makin mantap dan terpadu. Karakteristik intelektual pada umur ini adalah:
a. Mengembangkan kecakapan berbahasa.
b. Mempunyai kemampuan berpikir dalam bentuk symbol.
c. Berpikir logis.
3. Tahap operasi nyata (usia 7-11 tahun): pencapaian bervariasi berkenaan dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu yang menggabungkan pengaruh pemba:
a. Mampu memecahkan masalah yang nyata.
b. Mengerti hokum dan mampu membedakan baik dan buruk.
4. Tahap operasi formal (usia 11 dan seterusnya), yaitu memasukkan pengalaman baru ke dalam pola yang telah ada, akomodasi (mengubah struktur mental yang telah ada berhubungan dengan lingkungan yang berubah), dan equilibrasi (mencapai keseimbangan antara hal-hal yang telah dipahami lebih dahulu dan masukan baru). Karakteristik intelektual pada umur ini adalah:
a. Mampu memecahkan masalah yang abstrak.
b. Dapat berpikir ilmiah.
c. Mengembangkan kepribadian.
Dalam proses pendidikan, intelektual atau intelegensi menentukan perkembangan berpikir seseorang dalam hal belajar. Intelektual atau daya pikir berkembang sejalan dengan pertumbuhan saraf otak karena pikiran pada dasarnya menunjukkan fungsi otak. Diperjelas oleh John Anderson, “The result the study of cognitive psychology have implications for improving intelectual performance. ” Peristiwa belajar yang dialami oleh manusia bukan semata masalah respon terhadap stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan adanya self regulation dan self direction yang pengukuran dan pengarahan diri yang dikomtrol oleh otak.
Kemampuan berpikir dipengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya secara baik. Pertumbuhan syaraf yang telah matang akan diikuti oleh fungsinya dengan baik sehingga individu mengalami perkembangan kemampuan berpikirnya, manakala pertumbuhan syaraf pusat atau intelektual akan diawasi oleh kemampuan mengenal untuk mengetahui dunia luar.
Perkembangan intelektual remaja rata-rata berupa pada tahap keempat (kemampuan berfikir abstrak) yang menunjukkan perhatian seseorang kepada kejadian dan peristiwa tidak kekal. Misalnya, pilihan pada pekerjaan, corak hidup masyarakat, pilihan pasangan hidup yang sebenarnya masih jauh di hadapannya, dan lain-lain. Corak prilaku pribadinya di hari depan dan corak tingkah lakunya sekarang akan berbeda. Kemampuan abstraksi akan menentukan kepribadiannya.
Pikiran remaja sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terthadap situasi dan orang tua. Setiap pendapat orang tua dibandingkan dengan teori yang diikuti atau yang diharapkan sehingga tata-cara, adat istiadat yang berlaku di lingkungan keluarga sering terasa terjadi/ ada pertentangan denagan sikap kritis yang tampak pada perilakunya.
Pengaruh egosentrisme terlihat pada pikirannya yang menyebabkan kekakuan dalam cara berpikir maupun bertingkah laku remaja. Persoalan yang timbul pada masa remaja bertalian dengan perkembangan fisik yang dirasakan mencekam dirinya, dia berpikiran bahwa orang lain sepikiran atau tidak puas dengan penampilan dirinya. Egosentrisme dapat juga menimbulkan reaksi lain, yaitu remaja justru melebih-lebihkan diri dalam penilaian terhadap diri sendiri sehingga berani menentang melakukan aktivitas yang berisiko.
B. Implementasi Perkembangan Inteligensi dalam Pendidikan
Untuk dapat memberikan perlakuan-perlakuan pendidikan secara lebih tepat, perlu didasarkan kepada prinsip-prinsip perkembangan. Mendidik bukanlah sekedar memberikan informasi kepada orang lain. Mendidik merupakan proses membantu perkembangan peserta didik menuju kedewasaan menjadi dirinya sendiri. Oleh karenanya pendidik perlu mempelajari dan memahami perilaku peserta didik. Pendidik haruslah mengetahui pada taraf perkembangan apa sebenarnya anak yang dididik itu.
Agar pendidikan benar-benar dapat membantu perkembangan anak didik secara optimal, maka dalam memberikan pendidikan perlu memperhatikan dan mendasarkan diri pada faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan yaitu faktor bawaan, faktor lingkungan, faktor kematangan, dan faktor belajar (Eddy H dan Soebanoe, 1989 : 21). Pendidikan perlu mengintegrasikan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sehingga terjadi integrasi antara faktor-faktor tersebut, sehingga akan menimbulkan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan anak dan mencapai tujuan pendidikan.
Anak-anak adalah pembelajar aktif, mengalami langsung pengalaman fisik dan sosial sebagaimana halnya pengetahuan yang ditransmisikan secara kultural untuk menyusun pemahaman-pemahaman mereka sendiri tentang dunia yang ada di sekitar mereka. Anak-anak memiliki kontribusi terhadap perkembangan dan belajar mereka sendiri sebagaimana halnya mereka berusaha untuk menanggapi pengalaman-pengalaman harian mereka di rumah, program usia dini dan komunitas. Prinsip-prinsip dari praktek yang sesuai dengan tahapan perkembangan didasarkan pada teori-teori dominan yang memandang bahwa perkembangan intelektual dari sebuah perspektif konstruktivis-interaktif (Dewey 1916; Piaget 1952; Vygotsky 1978; DeVries & Kohlberg 1990; Rogoff 1990; Gardner 1991; Kamii & Ewing 1996).
Bermain merupakan sebuah instrumen penting bagi perkembangan sosial, emosional, dan kognitif anak-anak, juga sebagai sebuah refleksi atas perkembangan mereka. Memahami bahwa anak adalah konstruktor-konstruktor aktif atas pengetahuan yang dimiliki dan bahwa perkembangan dan belajar sebagai hasil proses interaktif, para guru anak usia dini mengakui bahwa bermain bagi anak merupakan sebuh kontek yang sangat mendukung untuk proses-proses perkembangan tersebut (Piaget 1952; Fein 1981; Bergen 1988; Smilansky & Shefatya 1990; Fromberg 1992; Berk & Winsler 1995).
Perkembangan tingkat lanjut dicapai ketika anak-anak memiliki kesempatan-kesempatan untuk mempraktekkan keterampilan-keterampilan yang baru dikuasai, sebagaimana juga mereka mengalami sebuah tantangan dalam level di atas penguasaan mereka sekarang ini. Penelitian-penelitian mendemonstrasikan bahwa anak-anak perlu untuk mampu menegosiasikan sebagian besar tugas-tugas belajar dengan sukses untuk memelihara motivasi dan keteguhan mereka (Lary 1990; Brophy 1992). Dihadapkan pada kegagalan yang berulang, kebanyakan anak-anak berhenti untuk mencoba. Implikasinya adalah bahwa pada sebagian besar waktu para guru seharusnya menyediakan anak-anak dengan tugas-tugas yang dengan usaha-usahanya mereka dapat menyelesaikan dan mempresentasikannya sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.
Anak-anak menunjukkan cara-cara yang berbeda dalam mengetahui dan belajar, dan cara-cara yang berbeda dalam merepresentasikan apa yang mereka ketahui. Pada kurun waktu tertentu, para teoritisi belajar dan ahli psikologi perkembangan telah mengakui bahwa manusia terlahir untuk memahami dunia dalam cara-cara yang beragam dan bahwa setiap individu cenderung memiliki preferensi atau model belajar tertentu. Studi-studi perbedaan dalam modalitas belajar telah menemukan hal yang kontras antara pembelajar visual, auditori, atau taktil. Sementara karya yang lain telah mengidentifikasi jenis pembelajar mandiri atau dependen (Witkin 1962).
Gardner (1983) memperluas konsep ini dengan berteori bahwa manusia paling tidak memiliki tujuh “intelegensi.” Sebagai tambahan terhadap kecerdasan tradisional yang penting bagi keberhasilan sekolah yaitu kecerdasan bahasa dan logika matematis, setiap individu paling tidak memiliki kecerdasan dalam bidang-bidang lain: musikal, spasial, kinestetik tubuh, intrapersonal dan interpersonal. Malaguzzi (1993) menggunakan metaphor “100 bahasa” untuk menggambarkan modalitas yang beragam yang digunakan anak-anak untuk memahami dunia dan merepresentasikan pengetahuan mereka. Proses-proses merepresentasikan pemahaman yang mereka miliki, dengan bantuan guru-guru, dapat membantu anak-anak memperdalam, memperbaiki, dan memperluas pemahaman mereka (Copple, Sigel, & Saunders 1984; Forman 1994; Katz 1995).
Prinsip modalitas yang beragam memberi implikasi bahwa para guru seharusnya menyediakan bukan hanyak kesempatan-kesempatan setiap anak secara individual menggunakan preferensi model belajarnya sebagai menjadi modal kekuatan mereka (Hale-Benson 1986) tetapi juga kesempatan-kesempatan untuk membantu anak-anak mengembangkan intelegensi-intelegensi yang mereka sadari tidak begitu menonjol.
Perkembangan anak-anak dalam semua bagiannya dipengaruhi oleh abilitas mereka untuk membangun dan memelihara sebuah hubungan primer yang positif secara konsisten dengan orang-orang dewasa dan anak-anak yang lain (Bowlby 1969; Stern 1985; Garbarino et al. 1992). Hubungan-hubungan primer ini berawal dalam keluarga tetapi kemudian meluas seiring berjalannya waktu termasuk guru-guru anak-anak dan anggota-anggota komunitas; oleh karena itu, praktek-praktek yang sesuai dengan tahapan perkembangan seharusnya memperhatikan dengan baik kebutuhan-kebutuhan fisik, sosial, dan emosi sebagaimana halnya perkembangan intelektual.



















BAB III
SIMPULAN DAN PENUTUP
A. Simpulan
Pertumbuhan dan perkembangan pada dasarnya adalah perubahan, perubahan menuju ke tahap yang lebih tinggi atau lebih baik. Ada beberapa perbedaan antara pertumbuhan dengan perkembangan. Pertumbuhan lebih banyak berkenaan dengan apek-aspek jasmani atau fisik, sedangkan perkembangan dfengan aspek-aspek psikis atau rohaniah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi seseorang adalah sebagai berikut:
1. Pembawaan
2. Kematangan
3. Pembentukan
4. Minat dan pembawaan yang khas
5. Kebebasan
Ada empat tahap perkembangan intelektual menurut teori Piaget, yaitu:
1. Tahap sensi motor (sejak lahir- 2 tahun), yaitu tahap sikuensial tatanan operasi mental yang progresif.
2. Tahap praoperasional (usia 2-7 tahun), yaitu urutan yang hierarki yang membentuk suatu tatanan operasi mental yang makin mantap dan terpadu.
3. Tahap operasi nyata (usia 7-11 tahun): pencapaian bervariasi berkenaan dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu yang menggabungkan pengaruh pembaan dengan lingkungan sekitar.
4. Tahap operasi formal (usia 11 dan seterusnya), yaitu memasukkan pengalaman baru ke dalam pola yang telah ada, akomodasi (mengubah struktur mental yang telah ada berhubungan dengan lingkungan yang berubah), dan equilibrasi (mencapai keseimbangan antara hal-hal yang telah dipahami lebih dahulu dan masukan baru). Read More..

PMRI Inovasi Pembelajaran Matematika

PMRI (PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA)
SUATU INOVASI DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA DI INDONESIA

Oleh :
DARSONO NIM : 0103509003
S2 MATEMATIKA


A. Latar Belakang
Dikeluarkannya Permen No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) adalah merupakan salah satu kelanjutan upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan. Hal tersebut terlihat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini mengamanatkan pembaharuan yang besar dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Menurut Permen No. 22 Tahun 2006, mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Hal senada juga diungkapkan oleh Soedjadi (2004) bahwa pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang meliputi: (1) tujuan yang bersifat formal yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak, dan (2) tujuan yang bersifat material yang memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika. Dari tujuan di atas terlihat bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan penataan nalar atau kemampuan berpikir logis serta sikap positif siswa yang berguna dalam mempelajari ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut disusun standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika. Standar kompetensi dan kompetensi dasar dijadikan sebagai landasan guru untuk menyusun program dan kegiatan belajar-mengajar di kelas.
Upaya-upaya pembaharuan dalam sistem pendidikan tersebut dilakukan sebagai respon dari banyaknya permasalahan dalam pendidikan di Indonesia. Permasalahan tersebut juga terjadi pada mata pelajaran matematika. Masalah umum pada matematika seperti rendahnya daya saing di ajang international, rendahnya rata-rata NEM nasional, serta rendahnya minat belajar matematika, matematika terasa sulit karena banyak guru matematika mengajarkan matematika dengan materi dan metode yang tidak menarik dimana guru menerangkan atau 'teacher telling' sementara murid mencatat. Salah satu penyebab permasalahan tersebut adalah secara umum pendekatan pengajaran matematika di Indonesia masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik yang menekankan proses 'drill and practice', prosedural serta menggunakan rumus dan algoritma sehingga siswa dilatih mengerjakan soal seperti mekanik atau mesin. Konsekwensinya bila mereka diberikan soal yang beda dengan soal latihan mereka akan membuat kesalahan atau 'error' seperti terjadi pada komputer. Begitu pula mereka tidak terbiasa memecahkan masalah yang banyak di sekeliling mereka.
Perhatian pemerintah dan pakar pendidikan matematika diberbagai negara untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa dalam rangka mengatasi rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika, telah diuji-cobakan penggunaan pembelajaran matematika secara kontekstual dan humanistik seperti yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Misalnya di Belanda telah dikembangkan pendekatan pembelajaran dengan nama Realistic Mathematics Education (RME). Di Amerika Serikat dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang disebut contextual teaching and learning. Menurut Becker dan Shimada (1997: 2), di negara Sakura Jepang saat ini sedang dipopulerkan pendekatan yang dikenal the open-ended approach. Di negara tetangga Singapura, pendekatan pembelajaran di sekolah dikenal dengan nama concrete-victorial-abstract approach . Peningkatan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa diduga dapat dilakukan melalui perantaraan benda-benda konkrik dan gambar-gambar yang menarik perhatian siswa. Leader, et al. (1995: 78), bahwa di negara Kangguru Australia sedang dipopulerkan pembelajaran matematika melalui pemahaman konteks yang disebut mathematics in context.
Sedangkan di Indonesia sendiri tengah dipopulerkan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia atau disingkat PMRI. Pendekatan matematika realistik ini sesuai dengan perubahan paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal ini adalah salah satu upaya dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan matematika (Sahat Saragih).
B. Mengenal Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Realistic Mathematics Education (RME) yang di Indonesia lebih dikenal dengan Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990). Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.
Dua pandangan penting beliau adalah ‘mathematics must be connected to reality and mathematics as human activity ’. Pertama, matematika harus dekat terhadap siswa dan harus relevan dengan situasi kehidupan sehari-hari. Kedua, ia menekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia, sehingga siswa harus di beri kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas semua topik dalam matematika.
Menurut Soedjadi(2004), matematika realistik dikembangkan berdasarkan pandangan Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan kegiatan manusia yang lebih menekankan aktivitas siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa.
Hans Freudenthal berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995).
RME adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang 'real' bagi siswa, menekankan ketrampilan 'proses of doing mathematics', berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri ('student inventing' sebagai kebalikan dari 'teacher telling') dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini peran guru tak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berfikir, mengkomunikasikan 'reasoningnya', melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat orang lain.
Yang dimaksud “dunia riil” adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.
Dari prinsip di atas diperoleh kesimpulan bahwa Pendekatan Matematika Realistik (PMR) secara garis besar memiliki lima karakteristik. Menurut Treffers dan Van den Heuvel-Panhuizen dalam Suharta (2005:2), karakteristik RME adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment) dan dijelaskan sebagai berikut :
1) Menggunakan konteks “dunia nyata”
Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.
2) Menggunakan model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model-model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.
3) Menggunakan produksi dan konstruksi
Dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
4) Menggunakan interaktif
Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
5) Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
Menurut Sutarto Hadi, berdasarkan karakteristik tersebut RME mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:
1) Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
2) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
3) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
4) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
5) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.

RME juga mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
1) Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
2) Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
3) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan
4) Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial.
Begitu pula RME mempunyai konsepsi tentang pembelajaran, bahwa pengajaran matematika dengan pendekatan RME meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995 dalam Sutarto Hadi):
1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
4) Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Zamroni, (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:
1) di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;
2) mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;
3) bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;
4) memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Menurut M. Asikin (2010), untuk mendesain suatu model pembelajaran berdasarkan pendekatan realistik, model tersebut harus merepresentasikan karakteristik RME baik pada tujuan, materi, metode dan evaluasi. Dengan rambu-rambu sebagai berikut.
1) Tujuan.
Tujuan haruslah mencakup ketiga level tujuan dalam RME yakni lower level, middle level, and higher order level. Dua tujuan terakhir, menekankan pada kemampuan berargumentasi, berkomunikasi dan pembentukan sikap kritis.
2) Materi.
Desain suatu ‘open material’ yang berangkat dari suatu situasi dalam realitas, berangkat dari konteks yang berarti dalam kehidupan.
3) Aktivitas.
Aktivitas siswa diatur sehingga mereka dapat berinteraksi sesamanya, diskusi, negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi ini siswa mempunyai kesempatan untuk bekerja, berfikir dan berkomunikasi dengan menggunakan matematika. Peranan guru hanya sebatas fasilitator atau pembimbing.
4) Evaluasi.
Materi evaluasi dibuat dalam bentuk ‘open question’ yang memancing siswa untuk menjawab secara bebas dan menggunakan beragam strategi atau beragam jawaban (free productions).
Tahapan pembelajaran yang dilaksanakan di kelas, secara umum (menurut model dari Connected Mathematics Project) terdiri dari tahap orientasi, tahap eksplorasi/penelusuran, dan tahap penyimpulan.
Pada tahap orientasi selain disampaikan sasaran pembelajaran, pemberian masalah kontekstual yang masih bersifat umum, diberikan pula masalah kontekstual yang sudah mengarah ke sasaran pembelajaran. Sedangkan inti dari tahap eksplorasi adalah aktivitas siswa yang dapat berupa: pemunculan gagasan atau pembentukan model, pengkomunikasian gagasan atau model, pertukaran gagasan/pembukaan situasi konflik, negosiasi. Pada tahap penyimpulan diberikan rangkuman, yang dilanjutkan dengan pemberian pertanyaan rangkuman (summary questions) dan pemberian tugas rumah (M. Asikin, 2010).
Adapun langkah-langkah pembelajaran pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) menurut Suharta (2005:5) adalah sebagai berikut.
Aktivitas Guru Aktivitas Siswa
1. Guru memberikan siswa masalah kontekstual.
2. Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberi kesempatan untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif.
3. Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.
4. Guru mendekati siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.
5. Guru mengenalkan istilah konsep.
6. Guru memberikan tugas di rumah, yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita serta jawabannya sesuai dengan matematika formal. 1) Siswa secara mandiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi informal.
2) Siswa memikirkan strategi yang paling efektif.

3) Siswa secara sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah tersebut.
4) Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis, melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan.
5) Siswa merumuskan bentuk matematika formal.
6) Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.

C. PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) Suatu Inovasi Dalam Pendidikan Matematika di Indonesia
Perubahan paradigma pembelajaran dari pandangan mengajar ke pandangan belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa membawa konsekuensi perubahan yang mendasar dalam proses pembelajaran di kelas. Perubahan tersebut menuntut agar guru tidak lagi sebagai sumber informasi, melainkan sebagai teman belajar. Siswa dipandang sebagai makhluk yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya sendiri.
Untuk mendukung proses pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut dan sesuai dengan tujuan pendidikan matematika, diperlukan suatu pengembangan materi pelajaran matematika yang difokuskan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan disesuaikan dengan tingkat kognitif siswa, serta penggunaan metode evaluasi yang terintegrasi pada proses pembelajaran tidak hanya berupa tes pada akhir pembelajaran (Subandar, 2001).
Ditinjau dari perubahan kurikulum yang saat ini sedang diberlakukan, yaitu Kurikulum 2006, pendekatan matematika realistik adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut. Kurikulum 2006 mengamanatkan bahwa, dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.
Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar.
Matematika Realistik yang pertama kali dikembangkan di Negeri Belanda dan telah menempatkan negara tersebut pada posisi ke-7 dari 38 negara peserta TIMSS tahun 1999 (Mullis et al., 2000). Matematika realistik juga telah diadopsi oleh banyak negara maju seperti Inggris, Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brasilia, Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia (Zulkardi, 2001). Salah satu hasil yang dicapai oleh negara-negara tersebut adalah prestasi siswa yang meningkat, baik secara nasional maupun internasional (Romberg, 1998). Hasil studi di Puerto Rico menyebutkan bahwa prestasi siswa yang mengikuti program pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik berada pada persentil ke-90 ke atas (Turmudi, 2004; Haji, 2005), suatu prestasi yang sangat fantastis untuk mata pelajaran matematika yang banyak dipandang siswa sebagai mata pelajaran yang sangat menakutkan dan membosankan.
Di Indonesia, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Beberapa penelitian tersebut antara lain adalah :
1) Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002), menemukan bahwa hasil pembelajaran geometri siswa kelas IV dan V SD dengan pendekatan matematika realistik pada tes akhir lebih tinggi daripada pembelajaran secara tradisional.
2) Hasil penelitian Armanto (2002), menemukan bahwa hasil pembelajaran perkalian dan pembagian bilangan besar siswa kelas IV SD dengan pendekatan matematika realistik lebih baik daripada pembelajaran secara tradisional.
3) Penelitian yang dilaksanakan oleh Kamiluddin (2007:48), berkesimpulan bahwa hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri 8 Baruga Kendari pada pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan pecahan dapat ditingkatkan melalui pendekatan Realistic Mathematic Education (RME).
4) Skripsi Hustiawan Cahyono (2009) menyimpulkan bahwa penerapan Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dapat meningkatkan mrestasi melajar miswa pada materi Bangun Ruang di Kelas VIII D SMP Negeri 5 Malang.
Menurut Turmudi (2004), pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik sekurang-kurangnya telah mengubah minat siswa menjadi lebih positif dalam belajar matematika. Hal ini berarti bahwa pendekatan matematika realistik dapat mengakibatkan adanya perubahan pandangan siswa terhadap matematika dari matematika yang menakutkan dan membosankan ke matematika yang menyenangkan sehingga keinginan untuk mempelajari matematika semakin besar.
Dengan adanya perubahan pandangan yang selama ini menganggap matematika sebagai pelajaran yang menakutkan, diharapkan siswa mulai menyenangi, tertarik dan termotivasi untuk belajar matematika. Sehingga tujuan pembelajaran matematika yaitu membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama akan lebih tercapai. Sebagai konsekuensinya perlu diperhatikan pendekatan pembelajaran yang digunakan di kelas. Ruseffendi (2001) berpendapat bahwa untuk membudayakan berpikir logis serta bersikap kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan matematika realistik. Selanjutnya dikatakan, jika kita (guru) rajin memperhatikan lingkungan dan mengaitkan pembelajaran matematika dengan lingkungan maka besar kemungkinan berpikir logis siswa itu akan tumbuh.
Tujuan pendidikan matematika yang lain adalah penekanannya pada pembentukan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1988). Untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya. Oleh karena itu, materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal. Hal ini sesuai dengan karakteristik pendekatan matematika realistik.
Untuk mencapai tujuan pendidikan matematika tersebut, dapat dicapai melalui inovasi proses pembelajaran matematika di kelas. Melakukan pembelajaran bermakna yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika. Perlu perubahan pembelajaran dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa. Upayakan proses pembelajaran yang menyenangkan. Tunjukkan bahwa matematika sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari sehingga matematika tidak dipandang sebagai sesuatu yang menyeramkan. Penilaian harus dilakukan terhadap keseluruhan, baik proses maupun hasil dalam rangka untuk memperbaiki proses pembelajaran, bukan merupakan akhir dari proses pembelajaran. Perubahan paradigma pembelajaran tersebut sesuai dengan paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat diajarkan oleh guru, melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa. Paham ini mendasari pendekatan matematika realistik. Sehingga pendekatan matematika realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di jenjang pendidikan dasar di Indonesia untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika.
\Pada simpulan salah satu jurnal ilmiahnya, Sahat Saragih menuliskan berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan maupun hasil penelitian yang telah dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri menunjukkan bahwa pendekatan matematika realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di jenjang pendidikan dasar di Indonesia dalam rangka untuk meningkatkan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam matematika.

D. Perkembangan PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) di Indonesia
RME awalnya dikembangkan di Belanda. Teori RME telah digunakan di beberapa sekolah di Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari proyek kolaboratif, Matematika dalam Konteks (MIC), antara Freudenthal Institute (FI), Utrecht University dan University Wisconsin. Data menunjukkan bahwa kerjasama internasional ini telah menjadi perusahaan yang bermanfaat, dalam arti bahwa 'hikmat praktek' dari bertahun-tahun di Belanda telah digunakan sebagai titik awal bagi pengembangan kurikulum di Amerika Serikat. (de Lange, 1994). Setelah siswa di beberapa distrik sekolah dari negara yang berbeda menggunakan bahan-bahan, penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa prestasi siswa dalam ujian nasional meningkat pesat (de Lange, 1998). Di Belanda, juga ada hasil positif dari penggunaan materi kurikulum RME. Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa di Belanda mencetak gol yang sangat dalam matematika (Mullis et al. 2000).
Terinspirasi oleh filosofi RME tersebut, satu kelompok yang kemudian disebut Tim Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI), mengembangkan suatu pendekatan untuk meningkatkan pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia. Hal ini dikenal sebagai PMRI, sebuah adaptasi dari RME dalam Bahasa Indonesia. Hal ini dikembangkan melalui kajian desain dalam kelas di Indonesia, kemudian menjadi gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika di Indonesia. Gerakan tidak hanya menerapkan cara baru pengajaran dan pembelajaran matematika, tetapi dikaitkan dengan dorongan untuk mencapai transformasi sosial di Indonesia.
Pendekatan untuk mereformasi diadopsi oleh PMRI meliputi:
- Bottom-up pelaksanaan;
- Bahan dan kerangka kerja berdasarkan kelas dan dikembangkan melalui penelitian;
- Guru secara aktif terlibat dalam merancang penyelidikan dan mengembangkan bahan-bahan yang terkait;
- Hari-demi-hari pelaksanaan strategi yang memungkinkan siswa untuk menjadi pemikir yang lebih aktif;
- Konteks perkembangan dan materi yang secara langsung berkaitan dengan lingkungan sekolah dan kepentingan murid.
Pada dasarnya, PMRI menggunakan strategi bottom-up, dengan pendekatan dan materi yang sebagian besar dikembangkan di dalam kelas daripada di belakang meja petugas kurikulum. Reformasi pendidikan matematika di Indonesia telah dimulai di kelas dan guru telah mengubah pendekatan pengajaran matematika sebagai hasil dari keterlibatan mereka dengan bahan-bahan baru, buku pelajaran, penyelidikan, eksperimen, in-service pendidikan dan pelatihan dalam kelas. Eksperimen kelas ini tidak hanya menyediakan dasar untuk pengembangan dan penyempurnaan teori PMRI, tetapi juga memberitahu mereka yang terlibat dalam pengembangan pelatihan bagi para guru dan penulisan buku pelajaran siswa.
Di Indonesia, tidak hanya menyediakan PMRI sebagai pendekatan baru untuk mengajar matematika, tetapi juga cara baru berpikir tentang tujuan dan praktek-praktek matematika sekolah. Perlu diakui bahwa hal itu tidak mudah untuk menerapkan teori dan pendekatan PMRI dalam pengajaran dan pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia. Hal ini dikarenakan pendekatan pengajaran PMRI adalah bertentangan dengan kemapanan pembelajaran yang berpusat pada guru dan asumsi transfer pengetahuan kepada siswa.
Banyak komentator di sekolah-sekolah di Indonesia percaya bahwa kebanyakan inovasi diperkenalkan ke sekolah-sekolah selama beberapa dekade tidak memiliki dampak signifikan pada kualitas pendidikan. Oleh karena itu, diasumsikan oleh banyak pengamat, bahwa pendekatan PMRI tidak akan menangkap pikiran guru, dan tidak akan sangat mempengaruhi praktik kelas mereka.
Akan tetapi sekarang kenyataan sudah cukup berbeda. Meskipun beberapa guru belum menguasai filosofi PMRI dan belum mengadopsi pendekatan pengajaran yang direkomendasikan, sebagian besar guru telah mengembangkan persepsi positif dari PMRI. Dan PMRI hadir sebagai metode alternatif yang mungkin akan diperlukan dalam reformasi matematika di sekolah. Guru-guru kini telah tumbuh menerima filosofi PMRI bahwa guru harus membimbing siswa di dalam menemukan konsep-konsep matematika. Meskipun demikian, ada beberapa yang menganggap pendekatan PMRI terlalu radikal dan karena itu tidak pernah diterima oleh sebagian besar guru di Indonesia.
Tim PMRI menyadari bahwa untuk menjadikan sukses dalam menerapkan PMRI, guru dan siswa memerlukan materi kurikulum yang konsisten dengan cita-cita dan konteks Indonesia. Bahan-bahan yang harus diperlukan tersedia dan mendukung siswa berpikir, dan dapat membantu guru membimbing siswa dalam menemukan kembali konsep-konsep matematika. Mereka harus banyak mendukung guru dalam mengatur kegiatan belajar di kelas di mana terdapat keragaman latar belakang murid. Jadi kegiatan dan konteks yang dipilih harus mudah dikenal oleh para siswa, bahasa dan diagram harus sederhana dan jelas, sehingga mereka memberikan dukungan maksimal bagi pengembangan konsep-konsep matematika (Hadi 2002). Salah satu pendekatan untuk memenuhi persyaratan ini adalah bagi para pengembang kurikulum dan penulis buku teks dari universitas untuk bekerja dengan guru.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa untuk mengembangkan pendekatan RME dalam pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia perlu dilakukan berbagai perubahan seperti kurikulum, sikap/mental guru, sikap/tingkah laku siswa, sikap/mental pemegang otoritas, pandangan masyarakat terhadap belajar, khususnya dalam belajar matematika(M. Asikin, 2010).
Agar berbagai dampak tersebut akan dapat dikenali secara lebih dini, sehingga penerapan RME di Indonesia dapat berhasil, maka menurut Slettenhaar (2000) dan Marpaung (2001) perlu beberapa upaya, antara lain (i) melaksanakan uji coba di beberapa sekolah sambil melakukan penelitian pengembangan, (ii) menatar guru-guru tentang RME, dan (iii) mengembangkan kurikulum matematika berbasis RME
Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan RME di Indonesia memerlukan kerja keras semua pihak. Tidak hanya bertumpu pada para pengembang atau para peneliti di perguruan tinggi. Peran para guru matematika justeru sangat strategis. Oleh karena itu para guru harus terlibat secara aktif dalam proses pengimplementasian RME. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terulangnya berbagai kebijakan di bidang pendidikan yang terkesan selalu “top down”dan hanya karena alasan “proyek” yang didanai dan harus dijalankan(M. Asikin : 2010).


E. Penutup
Secara umum hasil belajar matematika siswa dan penguasaan siswa terhadap konsep-konsep matematika masih berada dalam tataran rendah. Untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa dan penguasaan siswa terhadap konsep dasar matematika guru diharapkan mampu berkreasi dengan menerapkan model ataupun pendekatan dalam pembelajaran matematika yang cocok. Model atau pendekatan ini haruslah sesuai dengan materi yang akan diajarkan serta dapat mengoptimalkan suasana belajar.
Salah satu pendekatan yang membawa alam pikiran siswa ke dalam pembelajaran dan melibatkan siswa secara aktif adalah pendekatan Realistic Mathematic Education (RME). Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) adalah suatu pendekatan yang menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran dimana siswa diberi kesempatan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan matematika formalnya melalui masalah-masalah realitas yang ada. Dengan pendekatan ini siswa tidak hanya mudah menguasai konsep dan materi pelajaran namun juga tidak cepat lupa dengan apa yang telah diperolehnya tersebut. Pendekatan ini pula tepat diterapkan dalam mengajarkan konsep-konsep dasar dan diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Singkat kata RME yang di Indonesia disebut PMRI dapat dipandang sebagai suatu inovasi dalam pembelajaran matematika di samping pendekakan-pendekatan pembelajaran inovatif yang lainnya..


Dafar Pustaka
Asikin. M. 2001. REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME):Paradigma baru pembelajaran Matematika. Makalah (Online). http:// www.edukasi-online.info/ (diakses pada tanggal 11 April 2010).
Cahyono, Hustiawan Adha. 2009. Penerapan Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI) untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Materi Bangun Ruang di Kelas VIII D SMP Negeri 5 Malang. Skripsi, Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang.
Caslan. 2008. Implementasi Model Pembelajaran REALISTIC MATHEMATICEDUCATION (RME) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar SiswaKelas VI SD Negeri Limbangan 03 Tahun Pelajaran 2006/2007Dalam Pokok Bahasan Operasi Hitung Pada Bilangan Pecahan. Skripsi. (On line) http://digilib.unnes.ac.id/(diakses pada tanggal 15 September 2007).
Eko Siswono. 2008. PMRI: Pembelajaran Matematika yang Mengembangkan Penalaran,Kreativitas dan Kepribadian Siswa FMIPA UNESA Surabaya (On line) http://tatagyes.files.wordpress.com/(diakses pada tanggal 10 September 2007).
Hadi, Sutarto. 2003. PMR:Menjadikan Pelajaran Matematika Lebih Bermakna Bagi Siswa (Online).http://www.zainuri.wordpress.com/ (diakses pada tanggal 15 September 2007).
Nurliana, Anita. 2008. Usaha Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Aktivitas Pembalajaran Dengan REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION (RME) Pada Pokok Bahasan Bangun Ruang di SMP Kelas VIII. Skripsi: UMS.
R.Soedjadi dan Sutarto Hadi. 2004: PMRI dan KBK dalam Era Otonomi . Buletin PMRI Edisi III. Bandung. www.pmri.or.id/buletin/
Ruseffendi, ET. 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Tarsito. Bandung.
Saranggih, Sahat. 2008. Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan Sikap Positif terhadap Matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik. Jurnal Ilmiah
Sembiring, Robert K., Sutarto Hadi, Maarten Dolk 2008 Reforming mathematics learning in Indonesian classrooms through RME ZDM Mathematics Education (2008) http://www.springerlink.com/
Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Depdikbud. Jakarta.
Suharta. 2005. Matematika Realistik Apa dan Bagaimana. (Online). http://www .depdiknas.go.id (diakses pada tanggal 15 September 2007).

Yuniati, Asri. 2008. Keefektifan Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) dan Creative Problem Solving (CPS) terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Peserta Didik Kelas VIII SMP Negeri 11 Semarang. Skripsi, Jurusan Matematika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang Read More..