"Selamat datang di darsonmate. Kita akan berbagi pengalaman dan persahabatan. Ok"

Selasa, 28 Desember 2010

Model-model Pembelajaran Matamatika

METODE DAN MODEL-MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh : Darsono, S.Pd.
(Disajikan dalam kegiatan In Service program MGMP Matematika “BERMUTU” tahun 2010)

A. Pendahuluan
Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Lebih lanjut dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 (Depdiknas, 2006) menyatakan bahwa pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Guna malaksanakan amanah dan tuntutan tersebut, guru perlu menentukan strategi dan model pembelajaran yang menunjang pencapaiaan lima tujuan di atas. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 (Depdiknas, 2006) di tegaskan, pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
Isu sentral yang mewarnai pembicaraan tentang pembelajaran matematika adalah tentang konstruktivisme yang meyakini bahwa pengetahuan akan tersusun atau terbangun di dalam pikiran siswa sendiri ketika ia berupaya untuk mengorganisasikan pengalaman baru berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam pikirannya, sebagaimana dinyatakan Bodner (1986:873) berikut: “ … knowledge is constructed as the learner strives to organize his or her experience in terms of preexisting mental structures”. Karena itulah, penganut konstuktivisme meyakini bahwa suatu pengetahuan tidak dapat dipindahkan dengan begitu saja dari otak seorang guru ke otak siswanya. Harus ada upaya dari siswa untuk mengaitkan pengalaman baru dengan pengetahuan yang sudah ada di kerangka kognitifnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka guru harus dapat menentukan strategi atau model pembelajaran matematika yang berfokus pada pemecahan masalah dan dapat memfasilitasi para siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya.
Di pihak lain secara empiris, berdasarkan analisis penelitian terhadap rendahnya hasil belajar peserta didik, hal tersebut disebabkan proses pembelajaran yang didominasi oleh pembelajaran tradisional yang cenderung teacher-centered sehingga siswa menjadi pasif. Untuk dapat meningkatkan prestasi belajar, tentunya tidak terlepas dari peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah, yang salah satunya dengan cara merubah paradigma pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher-centered) beralih berpusat pada siswa (student-centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori; dan pendekatan yang semula bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual (Trianto, 2007 : 2).

B. Metode dan Model Pembelajaran Matematika
1. Metode , Pendekatan, dan Strategi Pembelajaran Matematika
Belajar dan mengajar adalah dua hal yang berbeda, akan tetapi keduanya saling berhubungan erat. Mengajar akan efektif, bila didasarkan kepada prinsip-prinsip belajar. Belajar akan efektif dan efisien, bila kesiapan mental siswa diperhitungkan. Jadi mengajar sebenarnya merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa, yang dalam hal ini guru mengharapkan siswanya mendapatkan pengetahuan, kemampuan/keterampilan dan sikap yang dipilih guru sehingga relevan dengan tujuan-tujuan pendidikan dan disesuaikan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa (Hudojo, 2003 : 97). Supaya terjadi proses interaksi antara guru dan siswa sebagaimana yang dikehendaki, perlu suatu metode penyampaian. Sehingga menurut Hudojo (2003 : 98), yang dimaksud dengan metode mengajar adalah suatu cara atau tehnik mengajar topic-topik tertentu yang disusun secara teratur dan logis, yang dalam hal ini terkandung dua segi yaitu interaksi antara guru dengan siswa dan interaksi antara siswa dengan materi yang dipelajari.
Dilihat dari bentuk interaksi antara guru dengan siswa yang terjadi, metode mengajar dapat dibedakan sebagai berikut.
1) Metode caramah
Metode ini merupakan suatu cara untuk menyampaikan ide atau memberikan informasi dengan berbicara. Dalam hal ini terjadi bentuk belajar mengajar satu arah, guru berbicara dan siswa mendengarkan. Metode caramah bila diselingi tanya-jawab antara guru dan siswa, biasanya disebut metode ekspositori sehingga pada dasarnya metode ekspositori ini setara dengan metode ceramah. Namun apabila metode ekspositori berporsi tanya-jawab yang cukup banyak, diklasifikasikan sebagai metode diskusi untuk seluruh kelas .
2) Metode diskusi
Metode ini merupakan bentuk belajar mengajar di mana terjadi interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Dengan metode diskusi siswa akan terlibat aktif dan berkesempatan berlatih berani mengemukakan pendapat di depan umum secara sistematik, mendengarkan dan menanti giliran secara tertib serta menanggapi pendapat orang lain secara kritis. Akan tetapi juga terdapat kelemahan dalam metode ini diantaranya adalah pada kelompok yang heterogen siswa pandai akan mendominasi dalam diskusi, kalau kelompok tidak ada yang pandai maka tidak akan menghasilkan sesuatu atau belajar tidak efektif, dan waktu yang diperlukan lebih lama.
3) Metode belajar sendiri
Metode ini merupakan bentuk proses belajar perorangan di bawah bimbingan guru. Metode ini bermanfaat untuk memupuk keterampilan dan kebiasaan belajar sendiri. Salah satu bentuk dari metode ini adalah system modul.
4) Metode laboratorium
Sebenarnya matematika itu tidak sekedar membaca, tetapi belajar sambil bekerja. Bagi siswa dalam tahap pra operasional dan oprasional kongkret, belajar sambil “bekerja” itu memungkinkan siswa menemukan konsep-konsep atau generalisasi dalam matematika. Prinsip metode laboratorium adalah belajar sambil “bekerja”, belajar sambil mengobservasi dan berjalan dari kongkret ke abstrak. Siswa tidak hanya mendengar informasi tetapi juga mengerjakan sesuatu.
Siswa dapat berinteraksi dengan materi pelajaran bila materi itu sesuai dengan perkembangan intelektual siswa dan cocok dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga materi tersebut bermakna (Hudojo, 2003 : 110). Ditinjau dari segi interaksi siswa dengan materi dan cara kerja matematika, metode penyampaian materi matematika dapat dibedakan sebagai berikut.
1) Metode induktif
Metode ini berjalan dari konkret ke abstrak, dan dari contoh khusus ke rumus umum. Perumusan teorema berjalan dari sejumlah contoh konkret. Setelah para siswa memahami suatu konsep dari sejumlah contoh konkret, mereka kemudian sampai kepada generalisasi.
2) Metode deduktif
Metode ini kebalikan dari metode induktif. Metode ini berjalan dari umum ke khusus, dari abstrak ke kongkret dan dari rumus atau teorema ke contoh-contoh. Rumus atau teorema diberikan kepada siswa dan guru bersama siswa membuktikan. Langkah selanjutnya siswa diminta untuk menyelesaikan soal-soal yang relevan dengan bantuan rumus atau teorema yang telah diberikan.
3) Metode penemuan
Metode ini merupakan sutau cara penyampaian topic-topik matematika, sedemikian hingga proses belajar memungkinkan siswa menemukan sendiri pola-pola atau struktur-struktur matematika melalui serentetan pengalaman-pengalaman belajar yang lampau.
4) Metode analitis
Metode ini berjalan dari yang tidak diketahui ke yang diketahui. Masalah yang akan diselesaikan perlu dirinci, sehingga jelas hubungan antara data yang satu dengan data yang lain yang sudah diketahui. Memulai dari apa yang harus dicari. Kemudian memikirkan langkah dan kemungkinan berikutnya yang mengaitkan hal-hal yang belum diketahui dalam hal yang telah diketahui dan akhirnya mendapatkan hasil yang dikehendaki.
5) Metode sintetis
Metode ini merupakan lawan dari metode analitis. Metode ini berjalan dari yang diketahui ke yang tidak diketahui. Jadi metode ini mulai dengan data yang ada dan dikaitkan dengan hal yang dipermasalahkan sehingga akhirnya permasalahannya dapat diselesaikan.
Sedangkan strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Depdiknas, 2002). Dengan demikian, strategi pembelajaran dapat pula disebut sebagai cara yang sistematik dalam mengomunikasikan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dapat juga dikatakan, strategi pembelajaran adalah cara yang dipilih untuk menyampaikan materi pelajaran dalam lingkungan pengajaran tertentu, yang meliputi lingkup dan urutan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman belajar kepada siswa (Gerlach dan Elly, 80:15). Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Sebagai contoh, di Belanda telah dikembangkan pendekatan pembelajaran dengan nama Realistic Mathematics Education (RME). Di Amerika Serikat dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang disebut contextual teaching and learning. Menurut Becker dan Shimada (1997: 2), di negara Sakura Jepang saat ini sedang dipopulerkan pendekatan yang dikenal the open-ended approach. Di negara tetangga Singapura, pendekatan pembelajaran di sekolah dikenal dengan nama concrete-victorial-abstract approach . Peningkatan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa diduga dapat dilakukan melalui perantaraan benda-benda konkrik dan gambar-gambar yang menarik perhatian siswa. Leader, et al. (1995: 78), bahwa di negara Kangguru Australia sedang dipopulerkan pembelajaran matematika melalui pemahaman konteks yang disebut mathematics in context. Sedangkan di Indonesia sendiri selain dikembangkan pendekatan pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) juga tengah dipopulerkan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia atau disingkat PMRI. Pendekatan matematika realistik ini sesuai dengan perubahan paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa.



2. Model Pembelajaran Matematika
Joyce dan Weil (1986: 14-15) mengemukakan bahwa setiap model belajar mengajar atau model pembelajaran harus memiliki empat unsur berikut.
1) Sintak (syntax) yang merupakan fase-fase (phasing) dari model yang menjelaskan model tersebut dalam pelaksanaannya secara nyata (Joyce dan Weil, 1986:14). Contohnya, bagaimana kegiatan pendahuluan pada proses pembelajaran dilakukan? Apa yang akan terjadi berikutnya?
2) Sistem sosial (the social system) yang menunjukkan peran dan hubungan guru dan siswa selama proses pembelajaran. Kepemimpinan guru sangatlah bervariasi pada satu model dengan model lainnya. Pada satu model, guru berperan sebagai fasilitator namun pada model yang lain guru berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan.
3) Prinsip reaksi (principles of reaction) yang menunjukkan bagaimana guru memperlakukan siswa dan bagaimana pula ia merespon terhadap apa yang dilakukan siswanya. Pada satu model, guru memberi ganjaran atas sesuatu yang sudah dilakukan siswa dengan baik, namun pada model yang lain guru bersikap tidak memberikan penilaian terhadap siswanya, terutama untuk hal-hal yang berkait dengan kreativitas.
4) Sistem pendukung (support system) yang menunjukkan segala sarana, bahan, dan alat yang dapat digunakan untuk mendukung model tersebut.
Oleh karena itu, Toeti Soekamto dan Winataputra (1995:78) mendefinisikan ‘model pembelajaran’ sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa model-model pembelajaran merupakan kerangka konseptual sedangkan strategi lebih menekankan pada penerapannya di kelas sehingga model-model pembelajaran dapat digunakan sebagai acuan pada kegiatan perancangan kegiatan yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang juga dikenal sebagai strategi pembelajaran.
Arends (1997 : 7) menyatakan “The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, syntax, environment, and management system”. Istilah modelpengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan system pengelolaannya.
Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi, metode atau prosedur. Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut ialah :
1) Rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya;
2) Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar
3) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan
4) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai
(Kardi dan Nur, 2000 : 9).


Dalam hubungannya dengan pendekatan, strategi, dan metode adalah sebagai berikut. Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut:


C. Beberapa Model Pembelajaran Matematika
Terdapat banyak model pembelajaran yang dikenal antara lain : Examples Non Examples, Picture And Picture, Numbered Heads Together, Cooperative Script, Kepala Bernomor Struktur, Student Teams-Achievement Divisions, Jigsaw (Model Tim Ahli), Problem Based Instruction , Artikulasi, Mind Mapping, Make - A Match, Think Pair And Share, Debate, Role Playing, Group Investigation, Group Investigation, Bertukar Pasangan, Snowball Throwing, Student Facilitator And Explaining, Course Review Horay, Demonstration, Explicit Instruction, Explicit Instruction, Cooperative Integrated Reading And Composition (CIRC), Inside-Outside-Circle (Lingkaran Kecil-Lingkaran Besar, Tebak Kata, Word Square, Scramble, Concept Sentence, Time Token, Keliling Kelompok, Tari Bambu, Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Stray), dan masih banyak lainnya.
Dalam tulisan ini hanya akan dibahas beberapa model pembelajaran yang sekiranya cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika. Beberapa model pembelajaran tersebut juga dapat digunakan sebagai acuan pada kegiatan perancangan kegiatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Setiap model akan memiliki kelemahan dan keunggulan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, guru harus dapat memilih model yang cocok, yang sesuai dengan materi, kemampuan siswa, dan model-model yang dapat menunjang pencapaian lima tujuan pelajaran matematika serta model-model pembelajaran yang lebih fokus pada pemecahan masalah dan dapat memfasilitasi para siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya.
1. Model Pemecahan Masalah
Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui siswa. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran pemecahan masalah adalah suatu rancangan tindakan (action) yang dilakukan guru agar siswanya termotivasi untuk menerima tantangan yang ada pada pertanyaan (soal) dan mengarahkan siswa dalam proses pemecahannya. Selama proses pemecahan masalah tersebut, para siswa dituntut untuk belajar menggunakan kemampuan berpikir dan bernalarnya sehingga mereka belajar untuk tidak menggunakan kemampuan mengingat saja. Karena kemampuan berpikir dan bernalar sangat penting untuk para siswa, maka pemecahan masalah harus merupakan fokus pembelajaran matematika sebagaimana dituntut Permendiknas No. 22 Tahun 2006.
Di saat memecahkan masalah, ada beberapa cara atau langkah yang sering digunakan dan sering berhasil pada proses pemecahan masalah yang disebut dengan strategi pemecahan masalah. Beberapa strategi yang sering digunakan adalah membuat diagram, mencobakan pada soal yang lebih sederhana, membuat tabel, menemukan pola, memecah tujuan, memperhitungkan setiap kemungkinan, berpikir logis, bergerak dari belakang, mengabaikan hal yang tidak mungkin, dan mencoba-coba.
Ada empat langkah pada proses pemecahan masalah yang harus dilatihkan kepada para siswa. Berikut ini adalah penjelasan untuk setiap langkahnya.
1) Memahami masalahnya
Pada langkah ini, para pemecah masalah (siswa atau guru) harus dapat menentukan dengan jeli apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Namun yang perlu diingat, kemampuan otak manusia sangatlah terbatas, sehingga hal-hal penting hendaknya dicatat, dibuat tabelnya, ataupun dibuat sket atau grafiknya. Tabel serta gambar ini dimaksudkan untuk mempermudah memahami masalah dan mempermudah mendapatkan gambaran umum penyelesaiannya. Dengan membuat gambar, diagram, atau tabel, hal-hal yang diketahui tidak hanya dibayangkan di dalam otak yang sangat terbatas kemampuannya, namun dapat dituangkan ke atas kertas.
2) Merancang model matematika
Pada langkah ini, para pemecah masalah (siswa atau guru) harus dapat mengaitkan masalah yang ada menjadi masalah matematika. Masalah yang ada dapat diubah menjadi persamaan atau pertidaksamaan, sistem persamaan atau pertidaksamaan, masalah segitiga sebangun, kongruen, atau masalah geometri. Meskipun tidak selamanya berlaku seperti ini, biasanya yang ditanyakan dimisalkan dengan x, y, t, atau variabel lain. Jadi, pada tahap ini para siswa akan belajar untuk dapat mengaitkan masalah yang ada dengan konsep atau pengetahuan matematika dan mengubah masalah tersebut menjadi masalah matematika. Istilah lain yang digunakan untuk langkah ini adalah pemodelan (modelling).
3) Menyelesaian model
Pada langkah ini, para pemecah masalah (siswa atau guru) harus dapat memecahkan masalah yang sudah diubah menjadi masalah murni matematika. Contohnya, jika masalah yang ada sudah diubah menjadi sistem persamaan dengan dua peubah, maka selanjutnya para siswa harus dapat memecahkan masalah yang sudah berbentuk sistem persamaan dengan dua peubah. Artinya, mereka harus dapat menentukan himpunan penyelesaiannya.
4) Menafsirkan solusi
Jika pada langkah 2 di atas, telah dimisalkan bahwa x merupakan ukuran panjang suatu persegipanjang, lalu pada kegiatan (langkah) 3 didapat bahwa x= −2 atau x= 3. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa panjang persegipanjang tersebut adalah 3 satuan. Nilai x= −2 tidak memenuhi karena panjang suatu persegipanjang tidak mungkin bernilai negatif.
2. Model Penemuan
Menurut Cooney dkk (1975) model penemuan (discovery methods) ditunjukkan Plato kepada kita dalam pembicaraan antara Socrates dengan seorang budak yang dikenal sebagai model Socrates; yang memuat dialog antara guru dengan siswa sedemikian rupa sehingga para siswa akan menemukan sendiri kesimpulan yang diharapkan melalui serangkaian pertanyaan yang diajukan guru. Bruner berpendapat bahwa belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan (learning by discovery is learning to discover).
Pada model penemuan ini siswa didorong untuk berfikir sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasar bahan yang disediakan dan bantuan guru. Para pakar ada yang membedakan antara penemuan murni dengan penemuan terbimbing. Pada model penemuan murni, mulai dari pemilihan strategi sampai pada jalan dan hasil penemuan ditentukan oleh siswa sendiri. Model penemuan yang dapat dikembangkan di kelas adalah model penemuan terbimbing di mana siswa dihadapkan dengan situasi di mana ia bebas untuk mengumpulkan data, membuat dugaan (hipotesis), mencoba-coba (trial and error), mencari dan menemukan keteraturan (pola), menggeneralisasi atau menyusun rumus beserta bentuk umum, membuktikan benar tidaknya dugaannya itu. Berbeda dengan model penemuan murni di mana mulai dari pemilihan strategi sampai pada jalan dan hasil penemuan ditentukan siswa sendiri, maka pada penemuan terbimbing ini guru bertindak sebagai penunjuk jalan, ia membantu dan memberi kemudahan bagi siswa sedemikian rupa sehingga mereka dapat mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah dia pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru.
Secara umum, urutan langkah pada model penemuan adalah sebagai berikut.
1) Guru merumuskan masalah yang akan dipaparkan kepada siswa dengan data secukupnya, dan dengan perumusan yang jelas sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.
2) Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun dan menambah data baru, memproses, mengorganisir dan menganalisis data tersebut. Guru membimbing siswa agar melangkah ke arah yang tepat, biasanya dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan.
3) Siswa menyusun konjektur (prakiraan atau dugaan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
4) Mengkaji kebenaran konjektur dengan alasan-alasan yang masuk akal. Verbalisasi konjektur beserta buktinya diserahkan kepada siswa untuk menyusunnya.
5) Jika siswa sudah dapat menemukan yang dicari, guru dapat memberikan soal tambahan untuk memeriksa kebenaran penemuan itu serta tingkat pemahaman mereka.
3. Model Missouri Mathematics Project (MMP)
Model Missouri Mathematics Project (MMP) memuat 5 langkah berikut.
1) Pendahuluan atau Review
a. Membahas PR
b. Meninjau ulang pelajaran lalu yang berkait dengan materi baru
c. Membangkitkan motivasi
2) Pengembangan
a. Penyajian ide baru sebagai perluasan konsep matematika terdahulu
b. Penjelasan, diskusi demonstrasi dengan contoh konkret yang sifatnya piktorial dan simbolik
3) Latihan Dengan Bimbingan Guru
a. Siswa merespon soal
b. Guru mengamati
c. Belajar kooperatif
4) Kerja Mandiri
Siswa bekerja sendiri untuk latihan atau perluasan konsep pada langkah 2
5) Penutup
a. Siswa membuat rangkuman pelajaran, membuat renungan tentang hal-hal baik yang sudah dilakukan serta hal-hal kurang baik yang harus dihilangkan.
b. Memberi tugas PR.
4. Model Pembelajaran Kontekstual dan Realistik
Pembelajaran kontektual merupakan salah satu dari sekian banyak model pembelajaran, pembelajaran kontekstual dikembangkan dengan tujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks lainnya.
Pola pembelajaran kontekstual berbeda dengan pembelajaran konvensional yang selama ini dikenal. Perbedaan tersebut tergambar dalam tabel berikut.
Pembelajaran Konvensional Pembelajaran Kontektual
• Menyandarkan pada hafalan • Menyandarkan pada memori spasial
• Pemilihan informasi ditentukan oleh guru • Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan individu siswa
• Cenderung terfokus pada satu bidang tertentu • Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang
• Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan • Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa
• Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian ulangan • Menerapkan penilaian auntentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah
Penerapan model pembelajaran kontekstual dalam kelas secara garis besar mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
1). Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
2). Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
3). Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
4). Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok)
5). Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6). Lakukan refleksi di akhir pertemuan
7). Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
Konsep Pembelajaran Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education) sangat mirip dengan Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning), yaitu suatu konsep pembelajaran yang berusaha untuk membantu siswa mengaitkan materi yang dipelajarinya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), penilaian sebenarnya (authentic assessment).
Menurut Hadi (2000), langkah pengajaran matematika dengan pendekatan realistik adalah:
1) Pendahuluan
a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang 'real' bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
2) Pengembangan
a. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan.
b. Pengajaran berlangsung secara interaktif. Siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain.
3) Penutup/Penerapan
Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Adapun langkah-langkah pembelajaran pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) menurut Suharta (2005:5) adalah sebagai berikut.

Aktivitas Guru Aktivitas Siswa
1. Guru memberikan siswa masalah kontekstual.
2. Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberi kesempatan untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif.
3. Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.
4. Guru mendekati siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.
5. Guru mengenalkan istilah konsep.
6. Guru memberikan tugas di rumah, yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita serta jawabannya sesuai dengan matematika formal. 1) Siswa secara mandiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi informal.
2) Siswa memikirkan strategi yang paling efektif.

3) Siswa secara sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah tersebut.
4) Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis, melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan.
5) Siswa merumuskan bentuk matematika formal.
6) Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.
5. Model Pembelajaran Kooperatif
Salah satu model pembelajaran yang sering digunakan dalam pembelajaran matematika adalah model pembelajaran kooperatif yang menggunakan pendekatan konstruktifisme. Menurut Slavin (1995), pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan konsep-konsep ini dengan temannya.
Di dalam pembelajaran kooperatif, siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil, saling membantu satu sama lain. Siswa dalam kelas dibagi dalam kelompok yang terdiri dari 4 (empat) atau 5 (lima) siswa yang heterogen. Masing-masing kelompok terdiri dari campuran siswa yang bervariasi dalam hal kemampuan, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan pendapat dan bekerja sama dengan teman yang berbeda latar belakangnya.
Pada pembelajaran kooperatif, siswa diajarkan keterampilan- keterampilan khusus agar dapat bekerjasama di dalam kelompoknya. Keterampilan tersebut diantaranya adalah menjadi pendengar yang baik, memberikan penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik, dan siswa lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995).
Menurut Trianto (2007 : 48), terdapat 6 (enam) fase atau langkah utama dalam pembelajaran kooperatif, yang dirangkum dalam table 1 berikut ini.
Tabel 1. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkahlaku Guru
Fase-1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar
Fase-2
Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase-3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajart Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif
Fase-4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok- kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Fase-5
Evaluasi Guru mengevaluasi hasil beljar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase-6
Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok
Sumber : (Ibrahim, 2000 : 10)
Walaupun prinsip dasar pembelajaran tidak berubah, terdapat beberapa variasi darti model tersebut. Penekatan yang merupakan bagian dari kumpulan strategi guru dalam menerapkan model pembelajaran kooperati tersebut adalah STAD (Student Teams Achivement Division), Tim Ahli (Jigsaw), Investigasi Kelompok (Teams Games Tournaments atau TGT), Think Pair Share (TPS), Circle of Learning, Co-op co-op, dan Numbered Head Together (NHT), dan Team Assisted/ Accelarated Instruction (TAI).
(1) STAD (Student Teams Achivement Division)
Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota 4 sampai 5 siswa secara heterogen. Diawali dengn penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, kuis, dan penghargaan kelompok.
Slavin (dalam Nur, 2000 : 26) menyatakan bahwa pada STAD siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan 4-5 orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja dalam tim mereka memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Kemudian, seluruh siswa diberikan tes tentang mateeri tersebut, pada saat tes mereka tidak diperbolehkan saling membantu.
Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD ada lima komponen utama yaitu pengajaran, belajar kelompok, kuis, skor perkembangan, dan penghargaan kelompok.
1) Pengajaran
Guru menyajikan materi pelajaran sesuai dengan yang direncanakan. Setiap awal dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD selalu dimulai dengan pengajaran yang mencakup pembukaan, pengembangan, dan latihan terbimbing di keseluruhan pelajaran.
2) Belajar Kelompok
Siswa belajar melalui kegiatan kerja dalam tim/kelompok. Selama belajar kelompok, tugas anggota kelompok adalah menguasai materi yang diberikan guru dan membantu teman satu kelompok untuk menguasai materi tersebut. Siswa diberi lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajaran.
3) Kuis
Setelah 1 sampai 2 periode pengajaran, siswa mengerjakan kuis secara individu dan siswa tidak boleh saling bekerja sama.
4) Skor Perkembangan
Hasil kuis diskor dan tiap individu diberi skor perkembangan. Skor perkembangan individu ini disumbangkan dalam skor perkembangan kelompok. Skor perkembangan ini diperoleh dari skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor siswa yang lalu.
5) Penghargaan Kelompok
Siswa yang berprestasi dan tim/kelompok yang memperoleh skor tertinggi dalam kuis diberikan penghargaan.
(2) Circle of Learning
Belajar bersama ini dikemukaan Johnson & Johnson pada tahun 1987 (Krismanto, 2000) dengan langkah-langkah berikut.
a. Beberapa orang (5 – 6) dengan kemampuan akademik yang bervariasi (mixed abilities group) berkumpul bersama.
b. Mereka saling berbagi pendapat dan saling membantu dengan kewajiban setiap anggota harus benar-benar memahami jawaban atau penyelesaian tugas yang diberikan kepada kelompok tersebut.
c. Pertanyaan atau permintaan bantuan kepada guru dilakukan hanya jika mereka sudah benar-benar kehabisan akal.
Hal yang juga dianggap penting dalam model ini adalah adanya saling ketergantungan dalam arti positif, adanya interaksi tatap muka di antara anggota, keterlibatan anggota sangatlah diperhitungkan, dan selain menggunakan keterampilan pribadi juga mengembangkan keterampilan kelompok.
(3) Grup Penyelidikan (Group Investigation)
Grup Penyelidikan (Group Investigation) digagas oleh Lazarowitz dkk, 1988 (Krismanto, 2000). Model ini menyiapkan siswa dengan lingkup studi yang luas dan berbagai pengalaman belajar untuk memberikan tekanan pada aktivitas positif siswa. Ada empat karakteristik pada model ini.
a. Kelas dibagi ke dalam sejumlah kelompok (grup).
b. Kelompok siswa dihadapkan pada masalah dengan berbagai aspeknya yang dapat meningkatkan daya keingintahuan dan daya saling ketergantungan positif di antara mereka.
c. Di dalam kelompok, siswa terlibat dalam komunikasi aktif untuk meningkatkan keterampilan cara belajar.
d. Guru bertindak selaku sumber belajar dan pimpinan tak langsung, memberikan arah dan klarifikasi hanya jika diperlukan, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Siswa terlibat dalam setiap tahap kegiatan:
a. mengidentifikasi topik dan mengorganisasi diri dalam “kelompok peneliti”,
b. merencanakan tugas-tugas yang harus dipelajari,
c. melaksanakan investigasi,
d. menyiapkan laporan,
e. menyampaikan laporan akhir, dan
f. mengevaluasi proses dan hasil kegiatan.
(4) Co-op co-op
Kegiatan ini dikemukakan Kagan, 1985.a (Krismanto, 2000). Seperti halnya grup penyelidikan, Co-op co-op berorientasi pada tugas pembelajaran yang kompleks. Para siswa mengendalikan diri mereka sendiri tentang apa dan bagaimana mempelajari bahan yang ditugaskan. Siswa dalam suatu tim (kelompok) menyusun proyek yang dapat membantu tim lain. Setiap siswa mempunyai topik mini yang harus diselesaikan dan setiap tim memberikan kontribusi yang menunjang tercapainya tujuan kelas. Struktur ini memerlukan cara dan keterampilan bernalar yang cukup tinggi, termasuk menganalisis dan melakukan sintesis bahan yang dipelajari.
Langkahnya adalah:
a. diskusi kelas untuk seluruh siswa,
b. seleksi atau penyusunan tim siswa untuk mempelajari atau menyelesaikan tugas tertentu,
c. seleksi tim untuk memilih topik,
d. seleksi topik mini (oleh angota kelompok di dalam kelompok/timnya oleh mereka sendiri),
e. penyiapan topik mini, presentasi topik mini, persiapan presentasi tim,
f. presentasi tim, dan
g. evaluasi oleh siswa dengan bimbingan guru.
(5) Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
Langkah-langkah dalam penerapan model Jigsaw adalah sebagai berikut :
1) Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji).
Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw

Kelompok Asal

Kelompok Ahli
2) Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
3) Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
4) Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
5) Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
(6) Numbered Heads Together (NHT)
NHT digagas Kagan 1985. b (Krismanto, 2000) dengan tahap kegiatan berikut.
a. Siswa dikelompokkan menjadi kelompok, masing-masing 4 orang. Setiap anggota diberi satu nomor 1, 2, 3, atau 4.
b. Guru menyampaikan pertanyaan atau tugas.
c. Guru memberitahu siswa untuk berembug sehingga setiap anggota tim memahami jawaban tim. Guru menyebut salah satu nomor dari 1, 2, 3, atau 4, dan siswa dengan nomor yang disebutkan guru yang harus menjawab.
d. Tanggapan dari teman lainnya.
e. Kesimpulan
Setiap tim terdiri dari siswa yang berkemampuan bervariasi: satu berkemampuan tinggi, dua sedang, dan satu rendah. Di sini ketergantungan positif juga dikembangkan dan yang kurang terbantu oleh yang lebih. Yang berkemampuan tinggi bersedia membantu meskipun mungkin mereka tidak dipanggil untuk menjawab. Bantuan yang diberikan dengan motivasi tanggung jawab atau nama baik kelompok. Yang paling lemah diharapkan sangat antusias dalam memahami permasalahan dan jawabannya karena mereka merasa merekalah yang akan ditunjuk guru untuk menjawab.
(7) Team Assisted/ Accelarated Instruction (TAI).
Slavin (1985) menyatakan (Krismanto, 2000) telah mengembangkan model ini dengan beberapa alasan. Pertama, model ini mengkombinasikan keampuhan kooperatif dan program pengajaran individual. Kedua, model ini memberikan tekanan pada efek sosial dari belajar kooperatif. Ketiga, TAI disusun untuk memecahkan masalah dalam program pengajaran, misalnya dalam hal kesulitan belajar siswa secara individual. Model ini juga merupakan model kelompok berkemampuan heterogen.
Berikut ini langkahnya.
a. Setiap siswa belajar pada aspek khusus pembelajaran secara individual.
b. Anggota tim menggunakan lembar jawab yang digunakan untuk saling memeriksa jawaban teman satu tim, dan semua bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban pada akhir kegiatan sebagai tanggung jawab bersama.
c. Diskusi terjadi pada saat siswa saling mempertanyakan jawaban yang dikerjakan teman satu timnya.
(8) Think Pair Share (TPS)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
Langkah-langkah :
1. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai
2. Peserta didik diminta untuk berfikir tentang materi/ permasalahan yang disampaikan guru
3. Peserta didik diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing
4. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya
5. Berawal dari kegiatan tersebut, Guru mengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para peserta didik
6. Guru memberi kesimpulan

D. Penutup
Sebagai rangkuman, makalah ini dimulai dengan mengetengahkan lima tujuan pelajaran matematika, yang berkait dengan: (1) pengetahuan matematika, (2) penalaran, (3) pemecahan masalah, (4) komunikasi matematika, dan (5) sikap menghargai kegunaan matematika. Formulasi tujuan tersebut telah menunjukkan tentang pentingnya memfasilitasi siswa SMP untuk mempelajari kemampuan berpikir dan bernalar selama proses mempelajari pengetahuan matematika di kelasnya. Implikasinya, telah dibahas juga diharapkan juga akan adanya perubahan fokus pembelajaran: (1) dari mengingat (memorizing) atau menghafal (rote learning) ke arah berpikir (thinking) dan pemahaman (understanding); (2) model ceramah ke strategi: discovery learning, inductive learning, atau inquiry learning; (3) paradigma pengetahuan dipindahkan dari otak guru ke otak siswa (knowledge transmitted) ke paradigma siswa sendiri yang membangun pengetahuan; berpusat ke materi (subject centred) ke terkonstruksinya pengetahuan siswa (clearer centred).
Beberapa model pembelajaran dan contoh yang dapat digunakan untuk memenuhi tuntutan tersebut di antaranya adalah: (1) Model Pemecahan Masalah, (2) Model Penemuan, (3) Model Missouri Mathematics Project (MMP), (4) Model Pembelajaran Kooperatif, dan (5) Model Pembelajaran Kontekstual dan Realistik.
Selanjutnya, para guru matematika diminta untuk menyusun RPP yang mengacu pada lima model di atas dan mengimplementasikannya di dalam kelas masing-masing. Sehingga perubahan paradigma tentang cara pembelajaran matematika terealisasi yang akhirnya diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika di sekolah.

1 komentar:

  1. boleh minta text resminya / berupa pdf nya tidak ya ? :)
    terimakasih

    BalasHapus